SEBUTAN "MAKRIFAT DAN SUFI" SUDAH TIDAK BERNILAI LAGI ?
SEBUTAN "MAKRIFAT" DAN "SUFI" SUDAH TIDAK BERNILAI LAGI ?
813 - KISAH N PETUAH INSPIRATIF WA 082226668817
Pada tahun 1960-an, Mbah Yahi Abdul Madjid Ma'ruf QS wa RA mentaklif sebuah metode penjernihan hati sebagai sarana makrifatullah dan wushul kepada Alloh SWT, yang disebut sebagai "Sholawat Wahidiyah".
Namun Mbah Yahi tidak menyebut Wahidiyah sebagai ilmu makrifat, cukup sederhana disebut sebagai ilmu kesadaran. Itu lebih tepat kepada sasaran yang mau diraih. Sebab Mbah Yahi sebagai Wali Besar Al Ghouts pada periode tersebut sangat paham akan masa depan, bahwa pada zaman berikutnya (yaitu sekarang), akan banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai ahli makrifat.
Sehingga kita saksikan sendiri saat ini, ilmu makrifatullah sudah tidak bernilai lagi, sudah tidak bermakna yang sesungguhnya lagi.
Di mana-mana orang sudah membicarakan ilmu makrifat tanpa penghormatan, pemahaman, pendalaman, maupun aplikasi nyata. Akhirnya makrifatullah hanyalah "Pepesan Kosong" belaka. Untuk itulah dahulu Mbah Yahi sudah meng-antisipasi dengan menyebut Wahidiyah sebagai ilmu "Kesadaran". Kata kesadaran lebih sederhana dibanding makrifat dan mempunyai makna n arti yg sangat dalam.
Begitu pula dengan Al Kamil Mukamil periode ini, Ghoutsu Hadzazzaman, Sulthonul Auliya (Sang Budha) periode ini. Beliau tidak lagi menyebut pembibinganNya sebagai tasawuf, atau pelakunya sebagai sufi. Sebagaimana makrifatullah, sebutan Sufi juga sudah tidak ada kedalaman makna saat ini, tidak mempunyai getaran kesucian lagi.
Di mana-mana orang pada mengaku sebagai sufi, padahal sufi itu manusia-manusia suci. Kalu diukur secara tingkat keheningan, minimal berada di cakra 5,5 (manusia bijaksana). Sedangkan orang-orang yang mengaku sufi saat ini rata-rata baru berada di cakra 1,5 sampe 2,5. Maksimal hanya berada di cakra 3, yaitu ahli karomah.
Mereka sama sekali belum HENING ( Istighroq ), belum mampu melihat "kenyataan", masih terbelenggu oleh fanatisme, dogma, dan doktrinnya. Belum mempunyai MATA SEJATI, masih ber-artribut, ber-predikat. Belum jadi manusia utuh, yaitu manusia KOSONG, manusia apa adanya, manusia alamiah.
Namun bagaimanapun, kita semua adalah tamu-tamu di planet bumi ini, bukan pemilik planet ini. Kita semua adalah pejalan yang mengembara melalui jalannya masing-masing, tidak pernah ada yang namanya salah jalan atau keliru jalan. Maka welas asihlah n cintailah sesama pejalan, minimal hargailah sesama pejalan.
Sebab perbedaan adalah sebuah keniscayaan ( sunnatulloh ) yang harus ada pada kehidupan ini, sebagai warna-warni pelangi kehidupan. Namun jika mampu mengalami totalitas kesadaran, segala ilusi dualitas ini akah musnah berganti dengan "kesempurnaan dan kesucian" semata.
(Dwi Artanto)
Komentar
Posting Komentar